kita lanjut ceritanya kawan. Semoga masih menyimak,hehehe. Perjalanan dari pasar Jimbaran menuju pos pertama atau pos Mawar diselimuti cuaca yang agak sedikit mendung tapi tidak berangin namun udara dingin yang cukup menusuk meresap melalui pori-pori kulit hingga membelai tulang-tulang tubuhku. Sempat saya berfikir "gimana klo di puncak ya??beuh sadap". tapi itu bukan menjadi suatu kondisi untuk tidak dapat menikmati keindahan Mt. Ungaran bagi kami, justru bagi kami itu adalah suatu kenikmatan tersendiri bisa bercengkrama dengan udara pegunungan yang bersih dan jauh dari hiruk pikuknya kota dan menambah keyakinan kami bahwa Ungaran harus kami daki. Untuk menemukan pengalaman menakjubkan di atas sana. Satu lagi, Sebagai bukti eksistensi kami terhadap negeri( walah ga nyambung).,perjalanan yang mengajarkan kami tentang solidaritas, kerja keras, loyalitas, dan rasa cinta kepada alam.. Dengan berjalan kaki, kami pun menuju pos Mawar dengan melewati perkampungan-perkampungan penduduk. gila, awal-awal kami sudah harus mencicipi tanjakan yang terbilang cukup curam. sesekali berhenti untuk beristirahat pun menjadi tidak terelakkan, hingga ditengah perjalanan kami memutuskan untuk membuka bekal yang telah kami bawa di pinggir jalan.yup, it's time for dinner. walaupun hanya sekedar nasi putih dengan lauk gorengan dan ikan asin,itu sudah cukup mengisi ulang tenaga buat kami dan ditambah lagi makan dengan sambil menikmati pemandangan lampu-lampu malam kota Semarang sungguh menjadikan itu sebuah kebersamaan yang memberi semangat tersendiri. Setelah acara makan malam selesai dengan segera kami pun mulai melanjutkan perjalanan menuju pos pertama,pos mawar. perjalanan kami pun melewati sebuah kampung wisata yang cukup populer di kabupaten semarang, sidomukti namanya. sebuah kampung dengan pemandangan molek nan indah, namun mengingat perjalanan yang kami lakukan jatuh bertepatan dengan malam minggu,banyak sekali ditemukan pasangan-pasangan anak-anak muda di sepanjang perjalanan tersebut. sangat miris ketika saya melihat pergaulan anak muda jaman sekarang (emang lu dah tua bos?oh iya ya, gua masih muda ya sekarang, hehehe). beuh, ngeri boy pacaran sambil liet pemandangan lampu-lampu kota dengan alih-alih pengen romantis. it's okey, tp kenapa harus digelap-gelap? bahkan terkadang dipingir jalan hanya tinggal motornya saja, orangnya kmn tuh?kesemak-semak?ngapain?(weits, urusan lu apa bos?suka-suka merekalah). yah, itulah sedikit potret gambaran anak muda jaman sekarang. sedikit miris sih, tp lanjut aja lah ceritanya kawan. Sembari berjalan yang kadang diselingi candaan candaan konyol, akhirnya kami pun sampai di pos Mawar. Registrasi administrasi dan isolasi (loh) untuk pendakian pun disitu, terbilang cukup murah sih, hanya 2 ribu perak per orang dan kita sudah bisa menikmati pemandangan alam yang terbilang sangat mahal buat saya. Mahal karena harus melewati perjuangan yang terbilang cukup sulit dan penuh dengan nilai pembelajaran didalamnya. Setelah proses registrasi selesai kami pun beristirahat sejenak (agak lama sih kami beristirahat disitu, ada sekitar sejam lebih) sembari shalat isya di pos tersebut.Di situ kami berkenalan dengan seorang pendaki yang cukup berpengalaman (menurut ceritanya, hehe) yang akrap dipanggil Gocep. yup, dengan nama itulah dia memperkenalkan dirinya. Seorang pendaki lokal yang siap melakukan sambungan interlokal atau SLJJ (ga jelas banget sih ceritanya mas, hehe). Gocep mengajak kami untuk mendaki bersama karena mengingat dia hanya mendaki sendirian dan kami pun juga telah lupa jalurnya. Tapi dengan pertimbangan bahwa pasti kami pun akan di over lap dan akan menjadi tidak enak klo nanti dia harus terus dan terus menunggu kami para pendaki pemula yang kebetulan sedang ingin berguru dengan alam, jadi kami memutuskan untuk berangkat terlebih dahulu (kejamnya kalian nak).
Dengan hanya diterangi oleh dua buah senter kecil akhirnya pukul 21.30 WIB kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami kembali. Perjalanan dari pos mawar menuju pos selanjutnya yaiuu pos Pronojiwo terbilang cukup mudah karena medan yang dihadapi terbilang cukup landai, namun yang perlu di waspadai adalah pengambilan jalur yang tepat mengingat ada beberapa bagian dari jalur tersebut yang bercabang. Hati-hati, salah ambil jalur bisa-bisa nanti harus mendaki tebing setinggi 2-3 m dngn kemiringan hampir 90 derajat (konon ceritanya sih, kebetulan saya belum pernah mengalami). dengan berjalan diiringin dengan alunan musik alam suara jangkrik, kodok dan sebagainya kami pun sampai ketempat pengambilan air di daerah kebun kopi. yang lucunya adalah tanpa sadar kami telah melewati pos kedua, pos pronojiwo. loh mana posnya??kapan kita melewatinya?? kami pun tidak tau, entah mungkin karena keasikan atau karena ngos-ngosan berjalan sehingga kami tidak terlalu memperhatikan, hehe. Di kebun kopi kami beristirahat cukup lama, mungkin sekitar setengah jam. disitu kami banyak bertemu para pendaki yang juga ingin istirahat atau hanya sekedar untuk mengisi ulang botol air mereka. namun karena botol air yang kami bawa masih cukup banyak, kami memutuskan hanya sekedar beristirahat menghangatkan badan dengan merapatkan diri ke api unggun yang telah dibuat oleh para pendaki sebelumnya disana dan tidak perlu untuk mengisi botol kami. ketika beristirahat, suara yang sangat khas terdengar dari kejauhan. yang awalnya terdengar sayu-sayu menjadi semakin dekat dan semakin jelas mendekat kearah kami. suara sebuah lonceng sapi, klinting-klinting. loh kenapa malam-malam seperti ini ada yang menggembala sapi?bukannya tidak ada peternakan sapi didaerah sini?sayup-sayup terlihat bayangan seorang pendak. itulah gocep, yang menggantungkan sebuah lonceng sapi di tasnya. seperti dugaan, kami sebelumnya dia pasti akan dengan mudah menyusul kami. kemudian perjalanan kami lanjutkan dengan tujuan berikutnya adalah kebun teh. masih dengan medan yang hampir sama, landai dan treknya jelas. dengan tidak membutuhkan waktu yang lama kami pun akhirnya sampai ke tempat tersebut. yup,hanya kurang dari satu jam dan waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WIB. cukup lama kami beristirahat di area kebun teh, ada sekitar dua jam. sambil merebus mie instan dan membuat segelas kopi jahe sekedar untuk menghangatkan badan sambil ditemani jutaan bintang-bintang diatas sana, benar2 mengobati kerinduan kami terhadap sang pencipta.
Setelah istirahat dirasa cukup (sekitar 2 jam) kamipun berniat melanjutkan perjalanan menuju puncak. namun kami sedikit mendapat masalah,sebuah masalah yang sangat fundamental sekali bagi seorang pendaki, kehabisan air.kehabisan air mengharuskan saya untuk segera turun kembali ke tempat pengambilan air sebelumnya yang ternyata tempat tersebut adalah sumber air yang terakhir yang dapat ditemui. dengan berlari sendirian, saya pun turun kembali dan segera mengisi persediaan air untuk keperluan kami nanti esok hari. dan dengan tidak memerlukan waktu yang cukup lama, botol air pun sudah terisi dan siap untuk melanjutkan perjalanan kembali.
Dari kejauhan terlihat barisan senter yang memanjang dari kejauhan, wow panjang banget tu rombongan.yup, itu adalah kawan-kawan pramuka yang berjumlah 55 orang dari salah satu smk di kota kendal. dengan ramahnya mereka menyapa kami, "permisi mas".dan dengan pertimbangan bahwa kurangnya penerangan di personil kami kami pun berniat untuk ikut ditengah-tengah rombongan tersebut. namun karena saya tidak tahan dengan kecepatan mereka yang terbilang cukup cepat (satu langkah maju,satu langkah berhenti,satu langkah maju, satu langkah berhenti) maka kami pun mendahului mereka(ga sabaran banget sih mas).
Perjalanan dari kebun teh menuju puncak terbilang cukup sulit. melihat medan yang dihadapi adalah cukup terjal dan licin. sempat beberapa kali saya pun hampir tergelincir.Tak terasa waktu di jam tangan kami telah menunjukkan pukul 03.00 WIB. udara dingin yang setia membelai tulang kami pun semakin menjadi. dan akhirnya kami berlindung di antara bebatuan yang besar sembari kami istirahat kembali dan sekedar menghangatkan badan dengan segelas kopi.
Pukul 04.oo WIB kami melanjutkan perjalanan kami mengejar matahari. hal serupa juga dilakukan oleh pulahan pendaki yang mendaki hari itu.mengejar summit attack. dengan berjalan santai seperti di pantai, kami berjalan dengan pasti menuju puncak Mt. Ungaran. Puncak Mt. ungaran, kami tiba. dengan tidak membutuhkan waktu yang cukup lama kami pun sampai dipuncak yang ternyata sudah banyak sekali pendaki yang telah berada di puncak.ada yang mendirikan tenda,ada juga yang hanya duduk dibatu sambil menunggu salah satu ciptaan TUHAN keluar dengan indah dari sebelah timur.kamipun tidak ketinggalan, dengan menggelar sebuah matras yang telah saya persiapkan sebelumnya, kami pun duduk di pinggir puncak sebelah timur (kursi utama ni ceritanya).
it's time for summit attack pikirku dalam hati. dengan diawali dengan merekahnya bintang kejora atau biasa disebut venus,perlahan tapi pasti momen yang telah ditunggu-tunggu oleh semua pendaki, Subhanallah, sunrise yang begitu indah muncul perlahan dan terlihat cantik dan apik dari puncak pegunungan. warna hitam putih biru jingga merah mempesona gempita warna cakrawala yang bercerita perihal ke-Maha-Besaran penciptanya. Rasa lelah dan peluh keringat yang menetes terbayarkan. Ada rasa lega mendalam ketika semua anggota tim pendakian menapaki kaki di titik tertinggi di kota Semarang. Teringat sebuah kata dari seorang kawan saya bahwa tidak ada gunung yang lebih tinggi dari lutut kita, selama kita masih mampu mendakinya. Tapi semua kenikmatan itu belum selesai, Mt. merbabu, Mt. merapi, Mt sindoro, Mt. Sumbing dan puncak Dieng tidak mau kalah dalam membuktikan eksistensinya kepada semesta. perlahan tapi pasti kabut tipis mulai kabur dan memperlihat jajaran gunung berapi yang membentang indah mengelilingi Mt. Ungaran. Entah dengan kata-kata apa lagi saya dapat menggambarkan keindahan mahakarya sang pencipta ini... Subhanallah,Subhanallah,dan subhanallah. . .
yup, itulah sepenggal kisah perjalanan kami yang mengajarkan tentang solidaritas, kerja keras, loyalitas, dan rasa cinta kepada alam dan sekaligus untuk mengobati kerinduan terhadap sang pencipta. . .
sedikit teringat puisi dari hasan aspahani yang berjudul Pendakian Malam Hari Gede-Pangrango
AKU jadi lebih mengerti kenapa Kau beri sepasang kaki
itu karena dalam pendakian tiap langkah menjejaki lumut
batu-Mu, duri batang kayu-Mu, dingin tanah dan udara-Mu
AKU jadi lebih tahu kenapa Kau beri sepasang mata
karena dalam kegelapan ini hati kami menyala-nyala,
seakan segera bertemu Engkau Sang Pengatur Cahaya
AKU jadi lebih paham kenapa kau beri sepasang tangan
karena kita perlu berpegangan, berbagi kekuatan
saat sebelah tangan diulurkan, ke arah gagang Pintu-Mu
Dengan hanya diterangi oleh dua buah senter kecil akhirnya pukul 21.30 WIB kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kami kembali. Perjalanan dari pos mawar menuju pos selanjutnya yaiuu pos Pronojiwo terbilang cukup mudah karena medan yang dihadapi terbilang cukup landai, namun yang perlu di waspadai adalah pengambilan jalur yang tepat mengingat ada beberapa bagian dari jalur tersebut yang bercabang. Hati-hati, salah ambil jalur bisa-bisa nanti harus mendaki tebing setinggi 2-3 m dngn kemiringan hampir 90 derajat (konon ceritanya sih, kebetulan saya belum pernah mengalami). dengan berjalan diiringin dengan alunan musik alam suara jangkrik, kodok dan sebagainya kami pun sampai ketempat pengambilan air di daerah kebun kopi. yang lucunya adalah tanpa sadar kami telah melewati pos kedua, pos pronojiwo. loh mana posnya??kapan kita melewatinya?? kami pun tidak tau, entah mungkin karena keasikan atau karena ngos-ngosan berjalan sehingga kami tidak terlalu memperhatikan, hehe. Di kebun kopi kami beristirahat cukup lama, mungkin sekitar setengah jam. disitu kami banyak bertemu para pendaki yang juga ingin istirahat atau hanya sekedar untuk mengisi ulang botol air mereka. namun karena botol air yang kami bawa masih cukup banyak, kami memutuskan hanya sekedar beristirahat menghangatkan badan dengan merapatkan diri ke api unggun yang telah dibuat oleh para pendaki sebelumnya disana dan tidak perlu untuk mengisi botol kami. ketika beristirahat, suara yang sangat khas terdengar dari kejauhan. yang awalnya terdengar sayu-sayu menjadi semakin dekat dan semakin jelas mendekat kearah kami. suara sebuah lonceng sapi, klinting-klinting. loh kenapa malam-malam seperti ini ada yang menggembala sapi?bukannya tidak ada peternakan sapi didaerah sini?sayup-sayup terlihat bayangan seorang pendak. itulah gocep, yang menggantungkan sebuah lonceng sapi di tasnya. seperti dugaan, kami sebelumnya dia pasti akan dengan mudah menyusul kami. kemudian perjalanan kami lanjutkan dengan tujuan berikutnya adalah kebun teh. masih dengan medan yang hampir sama, landai dan treknya jelas. dengan tidak membutuhkan waktu yang lama kami pun akhirnya sampai ke tempat tersebut. yup,hanya kurang dari satu jam dan waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WIB. cukup lama kami beristirahat di area kebun teh, ada sekitar dua jam. sambil merebus mie instan dan membuat segelas kopi jahe sekedar untuk menghangatkan badan sambil ditemani jutaan bintang-bintang diatas sana, benar2 mengobati kerinduan kami terhadap sang pencipta.
Setelah istirahat dirasa cukup (sekitar 2 jam) kamipun berniat melanjutkan perjalanan menuju puncak. namun kami sedikit mendapat masalah,sebuah masalah yang sangat fundamental sekali bagi seorang pendaki, kehabisan air.kehabisan air mengharuskan saya untuk segera turun kembali ke tempat pengambilan air sebelumnya yang ternyata tempat tersebut adalah sumber air yang terakhir yang dapat ditemui. dengan berlari sendirian, saya pun turun kembali dan segera mengisi persediaan air untuk keperluan kami nanti esok hari. dan dengan tidak memerlukan waktu yang cukup lama, botol air pun sudah terisi dan siap untuk melanjutkan perjalanan kembali.
Dari kejauhan terlihat barisan senter yang memanjang dari kejauhan, wow panjang banget tu rombongan.yup, itu adalah kawan-kawan pramuka yang berjumlah 55 orang dari salah satu smk di kota kendal. dengan ramahnya mereka menyapa kami, "permisi mas".dan dengan pertimbangan bahwa kurangnya penerangan di personil kami kami pun berniat untuk ikut ditengah-tengah rombongan tersebut. namun karena saya tidak tahan dengan kecepatan mereka yang terbilang cukup cepat (satu langkah maju,satu langkah berhenti,satu langkah maju, satu langkah berhenti) maka kami pun mendahului mereka(ga sabaran banget sih mas).
Perjalanan dari kebun teh menuju puncak terbilang cukup sulit. melihat medan yang dihadapi adalah cukup terjal dan licin. sempat beberapa kali saya pun hampir tergelincir.Tak terasa waktu di jam tangan kami telah menunjukkan pukul 03.00 WIB. udara dingin yang setia membelai tulang kami pun semakin menjadi. dan akhirnya kami berlindung di antara bebatuan yang besar sembari kami istirahat kembali dan sekedar menghangatkan badan dengan segelas kopi.
Pukul 04.oo WIB kami melanjutkan perjalanan kami mengejar matahari. hal serupa juga dilakukan oleh pulahan pendaki yang mendaki hari itu.mengejar summit attack. dengan berjalan santai seperti di pantai, kami berjalan dengan pasti menuju puncak Mt. Ungaran. Puncak Mt. ungaran, kami tiba. dengan tidak membutuhkan waktu yang cukup lama kami pun sampai dipuncak yang ternyata sudah banyak sekali pendaki yang telah berada di puncak.ada yang mendirikan tenda,ada juga yang hanya duduk dibatu sambil menunggu salah satu ciptaan TUHAN keluar dengan indah dari sebelah timur.kamipun tidak ketinggalan, dengan menggelar sebuah matras yang telah saya persiapkan sebelumnya, kami pun duduk di pinggir puncak sebelah timur (kursi utama ni ceritanya).
it's time for summit attack pikirku dalam hati. dengan diawali dengan merekahnya bintang kejora atau biasa disebut venus,perlahan tapi pasti momen yang telah ditunggu-tunggu oleh semua pendaki, Subhanallah, sunrise yang begitu indah muncul perlahan dan terlihat cantik dan apik dari puncak pegunungan. warna hitam putih biru jingga merah mempesona gempita warna cakrawala yang bercerita perihal ke-Maha-Besaran penciptanya. Rasa lelah dan peluh keringat yang menetes terbayarkan. Ada rasa lega mendalam ketika semua anggota tim pendakian menapaki kaki di titik tertinggi di kota Semarang. Teringat sebuah kata dari seorang kawan saya bahwa tidak ada gunung yang lebih tinggi dari lutut kita, selama kita masih mampu mendakinya. Tapi semua kenikmatan itu belum selesai, Mt. merbabu, Mt. merapi, Mt sindoro, Mt. Sumbing dan puncak Dieng tidak mau kalah dalam membuktikan eksistensinya kepada semesta. perlahan tapi pasti kabut tipis mulai kabur dan memperlihat jajaran gunung berapi yang membentang indah mengelilingi Mt. Ungaran. Entah dengan kata-kata apa lagi saya dapat menggambarkan keindahan mahakarya sang pencipta ini... Subhanallah,Subhanallah,dan subhanallah. . .
![]() |
Merapi dan Merbabu |
![]() |
Sindoro Sumbing dan Dieng |
![]() |
Putut |
![]() |
Rizki |
![]() |
![]() |
Capit dan Putut sedang beraksi |
yup, itulah sepenggal kisah perjalanan kami yang mengajarkan tentang solidaritas, kerja keras, loyalitas, dan rasa cinta kepada alam dan sekaligus untuk mengobati kerinduan terhadap sang pencipta. . .
sedikit teringat puisi dari hasan aspahani yang berjudul Pendakian Malam Hari Gede-Pangrango
AKU jadi lebih mengerti kenapa Kau beri sepasang kaki
itu karena dalam pendakian tiap langkah menjejaki lumut
batu-Mu, duri batang kayu-Mu, dingin tanah dan udara-Mu
AKU jadi lebih tahu kenapa Kau beri sepasang mata
karena dalam kegelapan ini hati kami menyala-nyala,
seakan segera bertemu Engkau Sang Pengatur Cahaya
AKU jadi lebih paham kenapa kau beri sepasang tangan
karena kita perlu berpegangan, berbagi kekuatan
saat sebelah tangan diulurkan, ke arah gagang Pintu-Mu